Sabtu, 09 Oktober 2010

Pengusaha Sukses: Jadi Wirausaha Harus Dalam Kondisi Terpaksa

Pengusaha Sukses: Jadi Wirausaha Harus Dalam Kondisi Terpaksa

 

Setelah menekuni sebagai profesional, akhirnya Rohmad Hadiwijoyo berhasil membeli perusahaan tempatnya bekerja di bidang jasa konstruksi dan pengeboran minyak dan gas bumi. Toh, di tengah kesibukannya sebagai CEO, ia masih rajin mendalang. Setelah puluhan tahun merentas karier sebagai karyawan di PT Resources Jaya Teknik Management Indonesia (RMI), pada 2004, Rohmad Hadiwijoyo membeli 100% saham perusahaan yang membidangi jasa konstruksi dan pengeboran minyak dan gas bumi itu. “Kebetulan pemilik lama yang terdiri dari beberapa orang sudah ingin pensiun. Lalu saya beli sahamnya satu per satu dari mereka hingga 100% jadi milik saya,” tutur Rohmad, yang kini CEO PT RMI Group. Proses pembelian saham dilakukannya secara bertahap. “Sejak tahun 1998 ketika menjabat direktur, saya mulai membeli,” ungkapnya. Sumber dananya diperoleh dari berbagai macam jalan. “Termasuk pinjam sana-sini,” imbuhnya.

Di tangan Rohmad, RMI yang berdiri sejak 1970 makin mengkilap. Ia membawa RMI menjadi perusahaan terkemuka di clean and renewable energy industry. RMI kini serius menggarap panas bumi sebagai sumber energi alternatif di Indonesia. “Indonesia memiliki potensi yang luar biasa untuk panas bumi,” katanya. Karena itu, ia tidak takut berinvestasi besar di industri panas bumi. “Kami punya mesin drilling paling canggih se-Asia Pasifik. Mesin drilling kami bisa dipindahkan karena memiliki kaki untuk bergerak, seperti robot di film Transformer,” lelaki kelahiran 1967 ini menandaskan.
RMI memang dikenal sebagai perusahaan terdepan di pengolahan clean energy. “Bidang ini tidak banyak dilirik pengusaha. Karena tidak banyak pemain di bisnis ini, RMI bisa menjadi perusahaan terdepan di pengolahan clean energy, ini sangat positif,” ungkap Dirut PT Pertamina Geothermal Energy, Abadi Purnomo. Ia menambahkan, clean energy bisa dilihat dari dua sudut pandang. “Secara ekonomis, keuntungan atau value-nya memang tidak signifikan. Tapi secara keseluruhan, karena mendapatkan kemudahan kredit dan kemudahan lainnya, tentu saja value-nya jadi baik,” paparnya.

Di bawah kendali Rohmad, RMI dikembangkan ke berbagai lini bisnis. Bidang drilling dengan lini bisnis utamanya pengeboran geotermal. Salah satu kliennya adalah Star Energy, pemilik ladang panas bumi di Wayang Windu, Jawa Barat. Melalui salah satu anak perusahaannya, RMI juga mengerjakan proyek purifikasi CO2 yang dihasilkan Krakatau Steel Cilegon. Menggandeng PT Wijaya Karya, ia punya konsesi geotermal di Gunung Tampomas, Sumedang. RMI juga merambah bisnis pariwisata dengan menjalankan bisnis pesiar lewat PT Bali Hai Cruises Nusantara yang memiliki empat kapal pesiar. Bisnis roti pun dijamah RMI dengan membuka gerai di berbagai rumah sakit di Jakarta.
Pergulatan Rohmad di dunia bisnis, terutama di RMI, setelah ia memperoleh Master dari George Washington University. Ketika itu, 1995, ia memulai karier profesionalnya dengan menjadi pemasar di Grup RMI hingga akhirnya menjabat Direktur PT Sumber Daya Kelola. “Pertama masuk, saya di bagian pemasaran,” ujarnya. Tahun 2003, ia dipercaya menjabat Direktur PT Thales Geosolution Indonesia/Thales International hingga 2004. Setahun berikutnya, ia menduduki posisi Direktur PT McConnell Dowell Indonesia.
Mengutip sebuah buku, Rohmad mengungkapkan bahwa ada beberapa fase bisnis di dunia. “Kini masanya industri yang ramah lingkungan setelah dulu sempat tenar industri TI. Kini sebuah industri yang maju harus memiliki konsentrasi terhadap lingkungan,” ujarnya. Itu sebabnya, ia berpendapat RMI tengah melakukan quantum leap dengan fokus di industri energi terbarukan dan clean energy, khususnya panas bumi. “Tapi tentu saja bisnis utama selama sekian puluh tahun di pengeboran minyak tetap dijalani RMI.”
Menurut Rohmad, menjadi wirausaha harus dalam kondisi terpaksa. “Sebab, dalam kondisi itu, seseorang harus berpikir untuk maju dan naik. Jika tidak, dia akan mati,” tuturnya. Seorang entrepreneur juga harus terus mengasah kemampuannya meski dalam waktu yang cukup lama. “Tidak ada entrepreneur yang langsung jadi atau instan.”
Memang, perjalanan Rohmad menjadi wirausaha dilakoni sejak di bangku SD. Saat kelas 6 SD, ia mulai mengasah kemampuannya dengan berjualan es, setelah ayahnya meninggal. “Saya terpaksa menjadi entrepreneur,” tukasnya. Sebagai anak sulung dari 6 bersaudara, ia merasa harus mengambil tanggung jawab membantu ibunya yang mengelola pabrik penggilingan padi peninggalan sang ayah. “Saya menjual es untuk orang-orang yang menunggu di penggilingan padi itu,” cerita Rohmad, yang melakoni jualan es hingga kelas 1 SMP.
Jiwa wirausaha Rohmad muda sepertinya tak terbendung. Ia terus mengasah intuisi bisnisnya sembari mengasah kemampuannya mendalang. Dunia pewayangan ia terjuni karena ia ingin mematrikan pesan sang ayah, sebagai mantri di desanya, Salatiga. “Beliau pernah berpesan supaya memiliki keunikan,” ceritanya. Karena itu, Rohmad memutuskan untuk belajar mendalang ketika SMP hingga SMA. “Enam tahun saya belajar mendalang,” imbuhnya. Ia kemudian mengawinkan kegiatan mendalang dengan bisnis. Selama road show praktik dalang ke berbagai daerah, ia juga berjualan pakaian. “Orang yang pergi mendalang keliling kampung itu biasanya tidak membawa banyak pakaian ganti. Jadi, saya yang sediakan baju baru buat pakaian ganti selama keliling kampung,” ujarnya sambil tertawa ringan.
Ketika SMA, lagi-lagi Rohmad mengendus peluang bisnis. Dengan menjual sepeda pemberian orang tuanya, ia membeli perlengkapan las untuk memulai bisnis pengelasan. Di sinilah ia mulai memupuk kemampuannya di bidang teknik. Setamat SMA, ia berniat melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah melalui ujian seleksi Sipenmaru. Dia pun bertekad menjadi dokter. “Ayah saya dulu mantri. Saya harus lebih dari itu. Saya mau jadi dokter,” katanya. Selain itu, Rohmad juga mendaftar menjadi tentara. Maklum, seperti kebanyakan orang di desanya, tentara merupakan profesi yang dianggap prestisius. Sayang Rohmat tidak lulus.
”Saya duduk di sebuah halte menunggu bus untuk pulang. Lalu saya lihat ada spanduk Akademi Elektromedik (Atem) yang sedang membuka pendaftaran mahasiswa baru. Akademi ini dulu ada ikatan dinas dengan Departemen Kesehatan. Saya pikir, kalau tidak jadi dokter, saya bisa tetap bekerja di rumah sakit. Nanti saya bisa membantu saudara-saudara saya yang sakit,” papar Rohmad yang berpikir akademi berikatan dinas tentunya tidak terlalu mahal biaya pendidikannya. Ini akan membantu mengurangi beban ekonomi sang ibu.
Ternyata Rohmad dan seorang teman satu sekolahnya lulus seleksi di Atem. Mereka pun berangkat ke Jakarta dengan uang seadanya. Di Ibukota, kondisi keuangan yang pas-pasan membuat Rohmad kembali tergelitik untuk berusaha. Saat kuliah, Rohmad menyewa sebuah kamar sempit di dekat kampusnya yang juga berdekatan dengan RS Pertamina. Ia dan temannya menyewa kamar ukuran 5 m2 seharga Rp 50 ribu setahun, dibagi dua menjadi Rp 25 ribu. “Kalau tidur berdua pasti dempet-dempetan. Kami sering tidur di kampus. Kamar cuma buat menyimpan buku dan pakaian. Itu kamar kos paling murah karena lokasinya di belakang kamar mayat RS Pertamina,” katanya.
Biaya pendidikannya sudah ditanggung akademi. Toh, dia tetap harus putar otak buat membiayai hidup di Jakarta. “Kiriman dari ibu saya tidak besar,” katanya. Rohmad pun mencari peluang bisnis yang mungkin dilakoni selama menjadi mahasiswa di Jakarta. Melihat kebutuhan makan teman-temannya yang bagaimanapun kondisinya pasti tetap dibutuhkan, ia memberanikan diri menawarkan jasa katering. “Saya tanya teman saya, berapa biaya makan kalian selama sebulan, teman saya jawab Rp 30 ribu. Lalu saya bilang, kalian bayar Rp 25 ribu saya akan urus makan kalian sehari tiga kali dengan lauk dan buah-buahan. Saya kumpulkan 10 orang dan mereka mau. Di indekosan, saya masak nasinya pakai rice cooker, lauknya saya beli dari warteg, dan buahnya saya beli di pasar. Lauk dan buahnya diganti-ganti tiap makan,” papar Rohmad. Karena dianggap membawa pelanggan, lauk dan sayurannya oleh pemilik warteg suka dilebihkan menjadi untuk 11 atau 12 porsi. “Saya dapat makan gratis.”
Di tahun terakhir kuliah, Rohmad mencari peluang bisnis yang lebih besar lagi. Ia mulai menekuni bisnis jual-beli daging sapi. Dari puluhan kilo hingga akhirnya menjualbelikan puluhan ekor sapi setiap harinya. “Saya beli sapinya dari kampung. Waktu mendalang keliling kampung, saya kenal banyak kepala desa yang di desanya ada peternak sapi. Sapinya saya ambil dari sana dan jual di sini.”
Dengan berbagai pengalaman itu, selulus kuliah, Rohmad memiliki segudang pengalaman berwirausaha dan kemampuan teknis elektromedis. “Mesin CT Scan, USG, saya sudah paham luar-dalamnya,” kata Rohmad berkelakar. Ia pun mulai menapaki karier profesionalnya. Awal kariernya dijalani sebagai Asisten Manajer Kantor RAND Corporation, lembaga asing yang mengantarkannya berkenalan dengan dunia global dan mengubah jalan hidupnya. Selama bekerja di sini, Rohmad sempat mengunjungi beberapa negara Asia hingga akhirnya diterima di School of Business and Public Management George Washington University, Washington DC, AS.
Dari Washington, Rohmad berhasil mengantongi gelar Master of Business bidang Manajemen Proyek pada Desember 1994. “Saya buat tesis tentang budaya ‘Yes Man’ dengan contoh kasus yang banyak terjadi di Indonesia. Budaya ‘Yes Man’ ini membuat sebuah manajemen tidak bisa berjalan baik karena pekerja cenderung membuat laporan yang selalu menyenangkan atasan tanpa ada objektivitas. Dosen-dosen saya sangat tertarik dengan tesis saya ini. Saya dapat nilai A+,” ia menuturkan.
Lalu bagaimana caranya agar sukses? “Seorang entrepreneur harus bisa membaca tanda-tanda zaman,” ia menegaskan seraya mengutip istilah dalam pewayangan soal tanda-tanda zaman. Rohmad berkeyakinan, setiap bisnis memiliki waktunya masing-masing. Sementara kemampuan membaca tanda-tanda zaman yang disebutkannya, tidak akan datang begitu saja. “Kemampuan itu harus terus diasah.”
Dunia pewayangan memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan Rohmad, meski mendalang baginya sekadar hobi. Menurutnya, mendalang dengan memimpin sebuah perusahaan, ada relevansinya. Ada filosofi atau nilai-nilai yang terdapat dalam kisah pewayangan yang bisa diambil dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Filosofi itu tidak pernah berubah sejak dulu hingga kini. “Hanya pelaku dan kapasitasnya saja yang berbeda,” imbuhnya. Dalam memimpin, ada nilai seperti gak ngoyo menjadi pemimpin. “Kita harus melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas kita,” ujarnya.
Di dunia seni, terutama seni pewayangan, Rohmad memang dikenal sebagai dalang. Meski tidak sepopuler Ki Manteb dan Anom Suroso. Ia justru dikenal sebagai dalang yang kerap mendalang secara multimedia, menggunakan wayang kulit, proyektor gambar, dan wayang orang. Meski sebatas hobi, kiprahnya di ranah pewayangan dilakoni dengan serius. Sejak 2008, ia tercatat sebagai Chairman Indonesian Puppeteer Association/Persatuan Dalang Indonesia. Rohmad juga Chairman Lontar Foundation sejak tahun lalu.
Kiprah lain Rohmad adalah pergulatannya di bidang akademis. Sejak 2005, ia menempati pos sebagai Direktur Eksekutif CIDES. Di tengah kesibukannya sebagai CEO RMI Group, ia masih menyisakan waktu untuk mengajar manajemen di Universitas Muhammadiyah Malang dan tengah menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Universitas Diponegoro Semarang sejak tahun lalu. Ia aktif pula menulis opini seputar persoalan politik, ekonomi, sosial dan budaya di berbagai media massa di Tanah Air.
Rohmad pun aktif sebagai Services Committee di American Chamber of Commerce sejak 2003, anggota Indonesian Entrepreneurs Association (HIPPI), dan anggota Indonesian Golf Association (PGI). Bahkan, ketika menjadi mahasiswa di Washington, ia sempat menjabat sebagai Presiden Indonesian Student Association (1993-1994).
Lika liku perjalanan hidup yang dilalui Hadiwijoyo seperti pungguk merindukan bulan. Akan tetapi, karena keteguhan, kerja keras, dan rasa percaya diri yang tinggi, akhirnya si pungguk mendapatkan sang bulan. Bahkan, dia bisa memberikan terangnya sinar rembulan bagi banyak orang lain. Lelaki ndeso asal Salatiga, Jawa Tengah, ini menghabiskan masa kecilnya di kampung halamannya. Sebagai anak tertua dari enam bersaudara, dan laki-laki pula, dia merasa bertanggung jawab pada keluarganya, ketika sang ayah wafat saat dia masih duduk di kelas 6 SD.
Dia tidak tega melihat ibunya sendiri bekerja membanting tulang menghidupi keenam anaknya. Berbagai upaya dilakukan untuk membantu sang ibu, walau ibunya tidak pernah memaksanya. "Ayah meninggalkan mesin giling padi. Ibu mengumpulkan para petani untuk meng-gilingkan padinya di tempat kami. Dedaknya dijual untuk membuat pakan ternak, sedangkan kulit padi dijual kepada pabrik tahu dijadikan pembakar tahu."
Rohmad yang sekolah di SMP Negeri 1 Salatiga ini, mengaku setiap hari jalan kaki sepanjang 10 km untuk mencapai sekolahnya. Dia melewati pematang sawah yang becek dan-berlumpur. "Tiap siang rumah saya ramai sama petani yang mau giling hasil panennya. Saya pinjam uang ke ibu untuk membeli kue dari kota, dan menjualnya kepada pelanggan ibu tersebut. Lumayan, dapat uang untuk jajan," ungkapnya mengenang masa kecilnya.
Ada kisah menarik yang tak pernah terlupakan olehnya sampai sekarang. Di SMP itu, lanjutnya, siswa wajib pakai sepatu hitam dan kaus kaki putih. Dia dibelikan ibunya sepatu putih. Dia merasa tidak enak kalau minta yang baru lagi. Jadi sepatunya direbus pakai pewarna kain yang hitam. Hasilnya lumayan, jadi abu-abu kehitaman.
Sambil kuliah, otak Rohmad mulai berpikir untuk berbisnis apa. Dia bisnis sapi, dengan mengumpulkan sapi-sapi dari Boyolali dan Gunung Kidul, lalu dibawa ke Cakung untuk dipotong, dan dijual dagingnya. Selain itu, dia juga bekerja di Rand Coorporation sebuah lembaga statistik demokrafi dari AS di Salemba Jakarta.
Tembus dunia luar
Rohmad ingin menembus dunia luar, dia tidak mau hidup hanya begitu-begitu saja. Maka atas saran teman-teman bule-nya di Rand, dia melamar ke beberapa kampus di Amerika Serika untuk mengambil gelar master. Ada empat universitas, tapi satu pun tidak ada yang lulus.
Dia nekad ke Amerika dan ambil kursus bahasa Inggris dulu di sana. Terus baru mendaftar ke George Washington University di Washington DC. Dia diterima di jurusan School of Business and Public Management.
"Dosen saya di Amerika itu pusing dengar ucapan Inggris saya, maka dia merekomendasikan saya praktik langsung dengan magang kerja di sebuah toko roti," ujarnya sambil tertawa lebar.
Mula-mula dia ditempatkan sebagai kasir agar sering berkomunikasi dengan pembeli. Walhasil pembeli mau bayar harus ngantri panjang, karena saya agak lama melayani mereka dengan bahasa terbata-bata. Tiga bulan kemudian, Rohmad diputar ke bagian dapur untuk membuat roti.
"Nah, di sini saya ketemu ilmunya. Saya pelajari cara bikin roti, mengaduknya, saya juga belajar bikin salad, dan lainnya."
Pulang ke Jakarta, Rohmad bergabung dalam PT Resources Jaya Teknik Management Indonesia (PT RMI) bergerak di bidang jasa konstruksi dan pengeboran minyak dan gas bumi. Perusahaan yang berdiri sejak 1970 itu, secara perlahan sahamnya dibeli Rohmad, dan akhirnya pada 2005,100% sahamnya dikuasai oleh presiden direktur PT RMI ini.
ohmad pun mengembangkan unit usahanya, dan kini menjadi RMI Group. Perusahaannya a.I. bergerak di bui,mu pengeboran minyak, geothermal, dan energy panas bumi. Ada sedikitnya 7 perusahaan dalam grup itu, seperti PT Adinata Pandita, PT Daya Alam Teknik Inti, PT RMI Krakatau Karbonindo, PT Sumber Daya Kelola.
Semua unit usahanya itu tersebar di Manado, Jambi, Palembang, dan Jakarta. Selain itu dia juga jadi Direktur Bali Hai Cruises Nusantara, kapal pesiar di Bali yang jumlahnya ada 4 unit. Saat ini dia mempekerja sekitar 250 pegawai, belum termasuk di Bali Hai yang berjumlah 200 orang.
Walau sudah mapan, Rohmad terus berpikir untuk membantu masyarakat yang kelas rendah, yang hanya lulusan SD-SMA. Tanah hasil kerjanya di toko roti di Amerika dulu, dia jadikan pabrik roti. Dia pun mempraktikkan kepiawai-annya membuat roti, hasilnya jadilah Ro Bakery dengan label halal dari MUL

http://www.suaramedia.com/ekonomi-bisnis/strategi-bisnis/28781-pengusaha-sukses-jadi-wirausaha-harus-dalam-kondisi-terpaksa.html

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar